Tugas Artikel
Guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Umum Budi Karyanto M.Hum
Oleh :
Rizka Ichsanul Karim (2021112035)
Tarbiyah PAI Kelas C
Demokratisasi Indonesia
Indonesia
adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dan Terdapat 1.340
suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010[1].
Keberagaman suku, agama, ras dan budaya indonesia menjadikan negara ini sebuah
khasanah pluralitas yang kompleks.
Indonesia
menganut demokrasi sebagai “way of life” dalam kehidupannya. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan
yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang
dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan
setara[2].
Menurut Abraham
Lincoln Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Rakyat bebas menentukan
kehidupannya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Rakyat benar-benar
mempunyai Human Right yang dijunjung
tinggi dan sangat dihormati.
Menurut
catatan, saat ini sekitar 120 negara melaksanakan sistem demokrasi di dunia.
Ini berarti bahwa hampir 63% dari jumlah negara yang ada di dunia ini menganut
sistem pemerintahan demokrasi. Sistem demokrasi dilihat orang sebagai suatu
tatanan standar dalam membentuk pemerintahan dalam rangka membangun kehidupan
umat manusia yang berbudaya.[3]
Banyak
orang mengatakan bahwa kita sekarang hidup dalam jaman demokrasi. Sistem
pemerintahan monarkhi dinilai sudah menjadi barang usang. Paham komunis telah
lama ditinggalkan dan sistem pemerintahan Teokrasi hanya cocok dipakai oleh
kelompok yang fanatik. Disinilah demokrasi
mendapat momentum dan mempunyai tempat dihati banyak orang sebagai sistem
pemerintahan yang sesuai dengan jaman.
Secara
garis besar, Dr. Nadirsyah Hosen lewat
Zuhairi Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat membagi bentuk
demokrasi negara islam menjadi tiga bentuk, pertama
paradigma fundamentalistik. Paham ini menganggap bahwa konstitusi negara harus
berdasarkan Islam, sebagaimana diterapkan Nabi dan para sahabatnya 15 abad yang
lalu. Negara yang konsitsten menerapkan model ini adalah arab saudi. Kedua, paradigma sekularistik. Mereka
yang menganut paradigma ini menganggap Islam sebagai ajaran yang diterapkan
dalam ranah privat dan individual. Hukum Islam hanya dapat diterapkan berdasarkan karisma seseorang pemimpin, dan
bukan melalui sistem konstitusional yang demokratis. Negara yang memedomani
paradigma ini adalah Turki. Negara ini mempunyai komitmen yang kuat untuk
menjadikan sekularisme sebagai pijakan utama dalam konstitusi mereka. Ketiga, paradigama moderat. Mereka
berpandangan bahwa Islam harus dipahami sebagai nilai, kebajikan, kemaslahatan
bersama dan tatanan moral. Meskipun demikian, moderatisme yang dianut terbelah
menjadi dua model, yaitu formalistik dan substansialistik. Kelompok formalistik
yaitu mereka yang menjadikan syariat sebagai sumber utama dalam konstitusi
mereka. Disatu sisi mereka menjadikan syariat sebagai sumber utama konstitusi,
tetapi disisi yang lain mereka menerima hak asasi manusia. Negara yang
mengimani paham ini adalah mesir, afganistan, dan Irak. Kelompok
substansialistik yaitu menjadikan nilai-nilai islam yang universal sebagai common ground atau common platform dengan agama-agama lainnya. Dan itu adalah
Indonesia[4].
Indonesia
adalah negara yang besar. Baik secara budaya, kultur maupun jika dinilai secara
historitas. Melihat kompleksitas pluralitas indonesia, adalah sebuah kehebatan
tersendiri bagi Indonesia bisa menyatukan masyarakat yang beragam tersebut
dalam suatu bingkai negara Indonesia. Dasar negara dan sistem pemerintahan pun
harus sesuai dengan fakta diatas. Dan para founding
father negara Indonesia sangat peka akan itu dan mengetahui secara pasti
kenyataan itu. Maka dipilihlah sistem pemerintahan demokrasi dengan dasar negara
pancasila yang bisa merepresentasikan keberagaman tadi dengan slogan “Bhinneka
Tunggal Ika”.
Meskipun
sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Muslim, tetapi tidak menutup mata
bahwa merekapun hidup berdampingan dengan para pemeluk agama lain. Sehingga
tujuh kata dalam naskah piagam jakarta
dinilai tidak sesuai untuk menjadi dasar negara dan kemudian dihapus karena memang melihat diri indonesia yang
begitu beragam lewat agama, budaya, suku, bahasa dll.
Inilah
supernya Indonesia diantara negara-negara lain yang berhasil mengangkat
moderatisme substansialistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia
bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara islam. Pilihan tersebut pada
hakikatnya sesuai dengan substansi syariat.
Pasal
29 ayat 2 UUD yang berbunyi “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu” tampaknya cukup tegas menyatakan bahwa negara menjamin
kebebasan beragama, yakni kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama
tersebut[5].
Namun,
Hubungan antar agama dan demokrasi tidak sesederhana apa yang kita bayangkan.
Banyak nilai-nilai agama yang sebenarnya kontradiktif dengan demokrasi dan atau
sulit untuk menerima demokrasi sebagai salah satu sendi kehidupan. Ada banyak
permasalahan intern agama yang kemudian menyulitkan berkembangnya demokrasi di
indonesia bahkan dunia.
Salah
satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan
kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat nilai-nilai dasar yang dianut
keduanya. Sebuah demokratisasi senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif
yang diajarkan oleh Kitab Suci-nya. Demokrasi, sebaliknya dari ajaran agama,
justru membuka peluang seluas-luasnya bagi perubahan nilai oleh masyarakat, dan
dengan demikian dapat mengancam nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama[6].
Demokrasi
menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara dimuka undang-undang,
dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa ibu. Sedangkan
tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal
tersebut diatas, minimal perbedaan agama dan keyakinan[7].
Sebenarnya
banyak sekali faktor yang menghambat demokratisasi di Indonesia, mulai dari
dasar negara dan pancasila, faktor intern agama, hingga hubungan antar agama
yang sangat rawan dengan konflik. Belum lagi kelompok garis keras yeng terus
berusaha dengan giat untuk mengislamkan indonesia lewat formalisasi syariat
islam.
Memang
ini adalah kenyataan Indonesia yang mempunyai pluralitas super kompleks yang
sampai sekarang belum ditemukan formula yang tepat untuk menanganinya. Konflik
SARA di Indonesia sangat mudah berhembus dan menimbulkan konflik. Hal ini
mencerminkan demokratisasi di Indonesia belum berjalan dengan sepenuh hati.
Posisi Indonesia yang bukan negara sekuler dan juga bukan negara islam menambah
dilematiknya posisi Indonesia.
Pada
akhir 1990-an terjadi kerusuhan diberbagai tempat di Indonesia. Banyak sekali
gereja yang dibakar massa dalam kerusuhan tersebut. Beberapa laporan penelitian
atas peristiwa-peristiwa tersebut menunjukan bahwa sekelompok orang luar
didatangkan ke tempat kejadian, lengkap dengan dukungan logistik dan komando[8].
Kemudian
setelah jatuhnya orde baru konflik agama yang terjadi dengan dahsyatnya di poso
dan maluku lagi lagi memperlihatkan bahwa demokratisasi belum sepenuhnya bisa
dilakukan dalam setiap sendi kehidupan kita di negara Indonesia ini, khususnya
dalam kehidupan beragama.
Kemudian
akhir-akhir ini banyak perusakan dan pengusiran jamaah ahmadiyah yang terjadi
diberbagai tempat semakin membuat Indonesia dalam posisi dilematik tentang
posisinya sebagai negara demokrasi nan moderat substansialistik, bukan negara
sekuler dan juga pula negara islam.
Kelompok
fundamentalisme garis keras pun ikut berpartisipasi dalam penghambatan
demokratisasi di Indonesia. Hampir semua pihak yang ikut dalam kerusuhan tadi
adalah kelompok—kelompok fundamentalis yang mempunyai intoleranisme tinggi
terhadap kehidupan umat antar agama.
Jiwa
indonesia yang sebenarnya moderat substansialistik tidak dimiliki oleh
sekelompok fundamentalis ini sehingga apa yang dikehendaki negara sebagai
negara moderat tidak seiya sekata dengan sekolompok masyarakatnya yang
fundamentalis garis keras.
Adalah
pernyataan yang tidak berlebihan jika fundamentalisme adalah aktor dibalik
terorisme. Menurut Zuhairi Misrawi, fundamentalisme telah memfasilitasi
lahirnya terorisme. Front Jihad dan jemaah Islamiyah di Mesir sudah lama
meletakkan jihad sebagai rukun islam yang ke enam. Terorisme yang berbaju
fundamentalisme merupakan fakta telanjang bulat. Yang mutakhir ledakan bom di
Riyadh, Maroko, Marriott, Bali dan Kuningan menunjukkan, fundamentalisme telah
menafsir agama sebagai bahasa terorisme[9].
Disinilah
kembali Indonesia berada dalam posisi yang dilematik. Indonesia bukan negara
sekuler dan bukan juga negara islam.
Indonesia memposisikan diri sebagai negara republik yang menganut sistem
pemerintahan demokrasi dan moderat substansialistik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegaranya. Tetapi dalam realitanya Indonesia belum bisa melaksanakan
demokratisasi dalam setiap sendi kehidupannya, terutama dalam hal kehidupan
antar umat beragama. Banyak masyarakat Indonesia yang mempunyai intoleransi
tinggi terhadap umat agama lain. Sehingga ketika isu-isu tentang agama
dihembuskan, konflik akan segera pecah dengan dahsyatnya. Dan konflik tadi
mengatasnamakan agama sebagai aktor utamanya.
Memang,
Indonesia adalah negara yang mempunyai pluralitas tingkat inggi. Sehingga
masalah yang muncul akan semakin kompleks. Dalam hal ini perlu kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama. Setidaknya
kita harus mempumyai toleransi tinggi kepada saudara-saudara kita seagama
maupun lain agama. Ketika seorang sudah mempunyai kesadaran dan toleransi itu,
maka kita tidak akan terpancing terhadap isu-isu agama yang memanaskan telinga.
Kita menjadi orang yang sangat hati-hati ketika menyentuh tentang kehidupan
antar umat beragama. Dan paling tidak kita sepakat dengan negara kita Indonesia
yang moderat substansialistik . sesuai pula dengan prinsip umat islam yaitu,
tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), tawasuth (moderat) dan i’tidal
(tegak).
Daftar pustaka
Wikipedia.org.
diakses tanggal 2 juni 2013 pukul 08.00 WIB
Mujiburrahman.2008. mengindonesiakan islam .Yogyakarta: pustaka pelajar.
Wahid,
Abdurrahman.2007.islam kosmopolitan.Jakarta:
the wahid institute.
Luddin,
Muchlis R.2005. No choice but education:
pendidikan sebagai pendorong pemberdayaan masyarakat .Jakarta: Yayasan Mural.
Misrawi,
Zuhairi.2010.Pandangan Muslim Moderat
.Jakarta : kompas.
[1] Wikipedia.org
[2] Wikipedia.org
[3] Muchlis R. Luddin No choice but
education: pendidikan sebagai pendorong pemberdayaan masyarakat (Jakarta.
Yayasan Mural.2005) hlm.85.
[4] Zuhairi Misrawi : Pandangan
Muslim Moderat (jakarta : kompas.2010) hlm.45.
[5] Dr. mujiburrahman mengindonesiakan
islam (yogyakarta: pustaka pelajar. 2008) hlm.255.
[6] Abdurrahman wahid islam
kosmopolitan (jakarta. the wahid institute: 2007) hlm.285.
[7] Ibid.hlm.287.
[8] Dr mujiburrahman : mengindonesiakan
islam (yogyakarta: pustaka pelajar. 2008) hlm.262.
[9] Zuhairi Misrawi : Pandangan
Muslim Moderat (jakarta : kompas.2010) hlm.45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar