Selasa, 11 Juni 2013

Demokratisasi Indonesia



               
Tugas Artikel
Guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Umum Budi Karyanto M.Hum







Oleh :
Rizka Ichsanul Karim (2021112035)
Tarbiyah PAI Kelas C




Demokratisasi Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504  pulau dan Terdapat 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010[1]. Keberagaman suku, agama, ras dan budaya indonesia menjadikan negara ini sebuah khasanah pluralitas yang kompleks.
            Indonesia menganut demokrasi sebagai “way of life” dalam kehidupannya. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara[2]. Menurut Abraham Lincoln Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Rakyat bebas menentukan kehidupannya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Rakyat benar-benar mempunyai Human Right yang dijunjung tinggi dan sangat dihormati.
Menurut catatan, saat ini sekitar 120 negara melaksanakan sistem demokrasi di dunia. Ini berarti bahwa hampir 63% dari jumlah negara yang ada di dunia ini menganut sistem pemerintahan demokrasi. Sistem demokrasi dilihat orang sebagai suatu tatanan standar dalam membentuk pemerintahan dalam rangka membangun kehidupan umat manusia yang berbudaya.[3]
Banyak orang mengatakan bahwa kita sekarang hidup dalam jaman demokrasi. Sistem pemerintahan monarkhi dinilai sudah menjadi barang usang. Paham komunis telah lama ditinggalkan dan sistem pemerintahan Teokrasi hanya cocok dipakai oleh kelompok yang fanatik.  Disinilah demokrasi mendapat momentum dan mempunyai tempat dihati banyak orang sebagai sistem pemerintahan yang sesuai dengan jaman.
Secara garis besar, Dr. Nadirsyah Hosen lewat  Zuhairi Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat membagi bentuk demokrasi negara islam menjadi tiga bentuk, pertama paradigma fundamentalistik. Paham ini menganggap bahwa konstitusi negara harus berdasarkan Islam, sebagaimana diterapkan Nabi dan para sahabatnya 15 abad yang lalu. Negara yang konsitsten menerapkan model ini adalah arab saudi. Kedua, paradigma sekularistik. Mereka yang menganut paradigma ini menganggap Islam sebagai ajaran yang diterapkan dalam ranah privat dan individual. Hukum Islam hanya dapat diterapkan  berdasarkan karisma seseorang pemimpin, dan bukan melalui sistem konstitusional yang demokratis. Negara yang memedomani paradigma ini adalah Turki. Negara ini mempunyai komitmen yang kuat untuk menjadikan sekularisme sebagai pijakan utama dalam konstitusi mereka. Ketiga, paradigama moderat. Mereka berpandangan bahwa Islam harus dipahami sebagai nilai, kebajikan, kemaslahatan bersama dan tatanan moral. Meskipun demikian, moderatisme yang dianut terbelah menjadi dua model, yaitu formalistik dan substansialistik. Kelompok formalistik yaitu mereka yang menjadikan syariat sebagai sumber utama dalam konstitusi mereka. Disatu sisi mereka menjadikan syariat sebagai sumber utama konstitusi, tetapi disisi yang lain mereka menerima hak asasi manusia. Negara yang mengimani paham ini adalah mesir, afganistan, dan Irak. Kelompok substansialistik yaitu menjadikan nilai-nilai islam yang universal sebagai common ground atau common platform dengan agama-agama lainnya. Dan itu adalah Indonesia[4].
Indonesia adalah negara yang besar. Baik secara budaya, kultur maupun jika dinilai secara historitas. Melihat kompleksitas pluralitas indonesia, adalah sebuah kehebatan tersendiri bagi Indonesia bisa menyatukan masyarakat yang beragam tersebut dalam suatu bingkai negara Indonesia. Dasar negara dan sistem pemerintahan pun harus sesuai dengan fakta diatas. Dan para founding father negara Indonesia sangat peka akan itu dan mengetahui secara pasti kenyataan itu. Maka dipilihlah sistem pemerintahan demokrasi dengan dasar negara pancasila yang bisa merepresentasikan keberagaman tadi dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Muslim, tetapi tidak menutup mata bahwa merekapun hidup berdampingan dengan para pemeluk agama lain. Sehingga tujuh kata dalam naskah piagam jakarta  dinilai tidak sesuai untuk menjadi dasar negara dan kemudian dihapus  karena memang melihat diri indonesia yang begitu beragam lewat agama, budaya, suku, bahasa dll.
Inilah supernya Indonesia diantara negara-negara lain yang berhasil mengangkat moderatisme substansialistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara islam. Pilihan tersebut pada hakikatnya sesuai dengan substansi syariat.
Pasal 29 ayat 2 UUD yang berbunyi “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” tampaknya cukup tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama, yakni kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama tersebut[5].
Namun, Hubungan antar agama dan demokrasi tidak sesederhana apa yang kita bayangkan. Banyak nilai-nilai agama yang sebenarnya kontradiktif dengan demokrasi dan atau sulit untuk menerima demokrasi sebagai salah satu sendi kehidupan. Ada banyak permasalahan intern agama yang kemudian menyulitkan berkembangnya demokrasi di indonesia bahkan dunia.
Salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya. Sebuah demokratisasi senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang diajarkan oleh Kitab Suci-nya. Demokrasi, sebaliknya dari ajaran agama, justru membuka peluang seluas-luasnya bagi perubahan nilai oleh masyarakat, dan dengan demikian dapat mengancam nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama[6].
Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara dimuka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut diatas, minimal perbedaan agama dan keyakinan[7].
Sebenarnya banyak sekali faktor yang menghambat demokratisasi di Indonesia, mulai dari dasar negara dan pancasila, faktor intern agama, hingga hubungan antar agama yang sangat rawan dengan konflik. Belum lagi kelompok garis keras yeng terus berusaha dengan giat untuk mengislamkan indonesia lewat formalisasi syariat islam.
Memang ini adalah kenyataan Indonesia yang mempunyai pluralitas super kompleks yang sampai sekarang belum ditemukan formula yang tepat untuk menanganinya. Konflik SARA di Indonesia sangat mudah berhembus dan menimbulkan konflik. Hal ini mencerminkan demokratisasi di Indonesia belum berjalan dengan sepenuh hati. Posisi Indonesia yang bukan negara sekuler dan juga bukan negara islam menambah dilematiknya posisi Indonesia.
Pada akhir 1990-an terjadi kerusuhan diberbagai tempat di Indonesia. Banyak sekali gereja yang dibakar massa dalam kerusuhan tersebut. Beberapa laporan penelitian atas peristiwa-peristiwa tersebut menunjukan bahwa sekelompok orang luar didatangkan ke tempat kejadian, lengkap dengan dukungan logistik dan komando[8]. 
Kemudian setelah jatuhnya orde baru konflik agama yang terjadi dengan dahsyatnya di poso dan maluku lagi lagi memperlihatkan bahwa demokratisasi belum sepenuhnya bisa dilakukan dalam setiap sendi kehidupan kita di negara Indonesia ini, khususnya dalam kehidupan beragama.
Kemudian akhir-akhir ini banyak perusakan dan pengusiran jamaah ahmadiyah yang terjadi diberbagai tempat semakin membuat Indonesia dalam posisi dilematik tentang posisinya sebagai negara demokrasi nan moderat substansialistik, bukan negara sekuler dan juga pula negara islam.
Kelompok fundamentalisme garis keras pun ikut berpartisipasi dalam penghambatan demokratisasi di Indonesia. Hampir semua pihak yang ikut dalam kerusuhan tadi adalah kelompok—kelompok fundamentalis yang mempunyai intoleranisme tinggi terhadap kehidupan umat antar agama.
Jiwa indonesia yang sebenarnya moderat substansialistik tidak dimiliki oleh sekelompok fundamentalis ini sehingga apa yang dikehendaki negara sebagai negara moderat tidak seiya sekata dengan sekolompok masyarakatnya yang fundamentalis garis keras.
Adalah pernyataan yang tidak berlebihan jika fundamentalisme adalah aktor dibalik terorisme. Menurut Zuhairi Misrawi, fundamentalisme telah memfasilitasi lahirnya terorisme. Front Jihad dan jemaah Islamiyah di Mesir sudah lama meletakkan jihad sebagai rukun islam yang ke enam. Terorisme yang berbaju fundamentalisme merupakan fakta telanjang bulat. Yang mutakhir ledakan bom di Riyadh, Maroko, Marriott, Bali dan Kuningan menunjukkan, fundamentalisme telah menafsir agama sebagai bahasa terorisme[9].
Disinilah kembali Indonesia berada dalam posisi yang dilematik. Indonesia bukan negara sekuler dan bukan juga negara islam.  Indonesia memposisikan diri sebagai negara republik yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dan moderat substansialistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Tetapi dalam realitanya Indonesia belum bisa melaksanakan demokratisasi dalam setiap sendi kehidupannya, terutama dalam hal kehidupan antar umat beragama. Banyak masyarakat Indonesia yang mempunyai intoleransi tinggi terhadap umat agama lain. Sehingga ketika isu-isu tentang agama dihembuskan, konflik akan segera pecah dengan dahsyatnya. Dan konflik tadi mengatasnamakan agama sebagai aktor utamanya.
Memang, Indonesia adalah negara yang mempunyai pluralitas tingkat inggi. Sehingga masalah yang muncul akan semakin kompleks. Dalam hal ini perlu kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama. Setidaknya kita harus mempumyai toleransi tinggi kepada saudara-saudara kita seagama maupun lain agama. Ketika seorang sudah mempunyai kesadaran dan toleransi itu, maka kita tidak akan terpancing terhadap isu-isu agama yang memanaskan telinga. Kita menjadi orang yang sangat hati-hati ketika menyentuh tentang kehidupan antar umat beragama. Dan paling tidak kita sepakat dengan negara kita Indonesia yang moderat substansialistik . sesuai pula dengan prinsip umat islam yaitu, tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), tawasuth (moderat) dan i’tidal (tegak).

Daftar pustaka


Wikipedia.org. diakses tanggal 2 juni 2013 pukul 08.00 WIB
Mujiburrahman.2008. mengindonesiakan islam .Yogyakarta: pustaka pelajar.

Wahid, Abdurrahman.2007.islam kosmopolitan.Jakarta: the wahid institute.

Luddin, Muchlis R.2005. No choice but education: pendidikan sebagai pendorong pemberdayaan masyarakat .Jakarta: Yayasan Mural.
Misrawi, Zuhairi.2010.Pandangan Muslim Moderat .Jakarta : kompas.




[1] Wikipedia.org
[2] Wikipedia.org
[3] Muchlis R. Luddin No choice but education: pendidikan sebagai pendorong pemberdayaan masyarakat (Jakarta. Yayasan Mural.2005) hlm.85.
[4] Zuhairi Misrawi : Pandangan Muslim Moderat (jakarta : kompas.2010) hlm.45.
[5] Dr. mujiburrahman mengindonesiakan islam (yogyakarta: pustaka pelajar. 2008) hlm.255.
[6] Abdurrahman wahid islam kosmopolitan (jakarta. the wahid institute: 2007) hlm.285.
[7] Ibid.hlm.287.
[8] Dr mujiburrahman : mengindonesiakan islam (yogyakarta: pustaka pelajar. 2008) hlm.262.
[9] Zuhairi Misrawi : Pandangan Muslim Moderat (jakarta : kompas.2010) hlm.45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar