PENGERTIAN ISLAM
Islam
menurut bahasa diambil dari bentuk masdar (infinitif) yaitu aslama, yuslimu,
islaaman, yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah[1].
Pengunaan kata aslama menunjukan mutlaknya dilakukan proses untuk meraih
keselamatan. Maksudnya, selamat yang diberikan kepada seseorang bukan dalam
bentuk pemberian kata tanpa kerja, by giving, tetapi untuk mendapatkan
keselamatan dibutuhkan proses dalam bentuk usaha dan kerja serius[2].
Disini dibutuhkan usaha yang kuat dan sabar untuk mendapatkan tempat yang dekat
dengan Allah swt agar apa yang kita lakukan di dunia selalu atas karena Allah
dan juga untuk mengharap ridho Allah swt.
Sedangkan islam menurut istilah
ialah seperti apa yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut yang bias kita lihat
dalam bukunya yang berjudul Al-Islam:
‘Aqidatun wa Syari’atun. Beliau memberi definisi islam adalah agama Allah
yang diwasiatkan untuk mempelajari pokok-pokok dan syari’atnya kepada nabi
Muhammad saw dan wajib (harus) menyampaikan kepada selueuh manusia[3]
Dalm
pengertian diatas kita melihat ada kata lain yang mempunyai hubungan erat
dengan islam, yaitu wahyu dan syariat. Wahyu adalah suatu yang diberikan Allah
swt kepada nabinya yang berisi tentang syari’at atau tatacara dalam menjalankan
agama dalam kehidupan kita didunia. Tiga hal ini, yaitu islam, wahyu dan
syariat saling berkaitan erat dan saling melengkapi satu sama lainnya.
Islam(agama) tanpa wahyu bagaikan jalan raya tanpa rambu-rambu, sehingga
pengguna jalan itu akan leluasa dan berlaku se-enaknya saja. Begitupun islam
dengan wahyu tapi tanpa syariat, sudah ada keyakinan, sudah ad rambu-rambu,
tapi tidak ada isi atau substansinya. Sehingga nilai-nilai yang ada didalamnya
akan terasa hampa, kosong dan tanpa makna.
Jadi bisa dirumuskan, Islam adalah
pengakuan pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah
rasul utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan puasa di
bulan Ramadhan dan menunaikan haji.
Jika melihat pengertian diatas kita
bisa melihat integritas islam, wahyu dan syariat yang amat kuat dan saling
menguatkan. Disinilah pentingnya islam dengan wahyu dan syariat berjaln secara
beriringan satu sama lain.
Pengertian islam secara terminologis
sebagaimana yang dirumuskan para ahli dan ulama bersifat sangat beragam,
tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Jadi bisa kita simpulkan bahwa
islam adalah wahu allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw sebagaimana
terdapat dalam Al-Quran dan sunah, berupa undang-undang serta aturan-aturan
hidup sebagai petunjuk bagi seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan
kedamaian hidup di dunia dan akhirat[4].
OTENTISITAS AJARAN ISLAM
1.
AL-QURAN
Secara etimologis, kata Al-quran berasal
darikata qara’a yaqra’u qur’anan. Yaitu bacaan atau mashdar yang di artikan
dengan kata maqru’, artinya; yang dibaca.
Secara
terminologis banyak definisi Al-Qur’an
yang dikemukakan oleh para ulama’. Akan tetapi dalam hal ini kita bisa melihat
definisi yang dikemukakan oleh abdul Wahab Khalaf. Menurut khalaf al-Qur’an
ialah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, nabi Muhammad bin
Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa arab dan maknanya
yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasulullah, bahwa ia benar-benar
menjadi Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, member petunjuk kepada
mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada
Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat
Al-Fatikhah dan di akhiri dengan surat An-nas, disampaikan secara mutawattir
dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari
perubahan dan pergantian[5].
Al-Quran adlah wahyu dari Allah untuk nabi
Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril . kemudian nabi menyampaikannya
kapada para sahabat. Lalu para sashabat menghafal dan menuliskannya diberbagai
media, seperti pelepah kurma, kertas maupun tulang hewan dan lain-lain. Hal itu
dilakukan terus menerus sampai wahyu yang terakhir dan akhirnya nabi Muhammad
wafat.
Setelah nabi Muhammad wafat, Abu
bakar, sebagai khalifah yang menggantikan nabi Muhammad memulai usha untuk
mengumpulkan teks-teks Al-quran yang masih berserakan dimana-mana. Hal itu
didodrong oleh sahabat umar yang khawatir akan keutuhan Al-Quran karena banyak
dari penghafal Al-Quran yang gugur dalm peperangan yamamah. Kemudian Abu Bakar
menyetujuinya dan ditunjuklah sahabat Zaid bib Tsabit sebagai pelaksana penulis
Mushaf Al-Quran yang pertama. Tidak sampai waktu setahun, mushaf Al-Quran yang
pertama berhasil diselesaikan oleh Zaid bin Tsabit.
Pad zaman khlifah usman bin affan,
seiring dengan perkembangan dan perluasn kekuasaan islam, muncul problem baru
yaitu perbedaan dialek karena keberagaman Negara-negara islam yang
dikhawatirkan akn meletuskansebuah pertentangan tentang Al-Quran. Lalu muncul
upaya untuk menyalin mushaf abu Bakar yang kemudian akan disebara ke beberapa
kota, yaitu: Kuffah, Bashrah, Mekkah, dan syuriah. Dalam upaya ini, zaid bin
Tsabit dipercaya lagi menjadi orang yang melaksanakan tugas mulia ini. upaya
ini berhasi dan menghasilkan beberapa mushaf hasil salinan dari mushaf Abu
Bakar, yaitu yang biasa disebut mushaf usmany. Kemudian khalifah usman
memerintahkan agar membakar semua catatan-catatan ayat Al-Qur’an selain Mushaf
tadi. Dan membaca Al-Qur’an menurut bacaan atau qira’at yang terdapat dalam
mushaf usmany.
Itulah cikal bakal mushaf al-Quran
yang kemudian sampai ke tangan kita sekarang ini. Sebagaimana disebutkan oleh
abdul wahab khllaf (ilmu ushul fiqh, 1990:24), bahwa kehujahhan Al-Qur’an itu terlatak pada
kebenaran dan kepastian isinya yang sedikit pun tidak ada keraguan atasnya.
Dengan kata dan Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara
Qath’iy (pasti)
Allah sendiri-lah yang juga menjaga ke-otentitisitasnya
dan merawatnya sehingga jauh dari rekayasa, perubahan berupa penambahan atau
pengurangan Al-Qu’an.
2.
AL-HADIST
Hadist menirut bahasa yaitu
kebalikannya qadim : dahulu, yaitu baru. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist
menurut bahasa yaitu perkataan. Ini berdasarkan ayat al-quran surat An-nisa’ :
87. Hadist sering dikaitkan dengan sunnah. Menurut ulama’ jumhur hadist dan
sunnah adalah sama. Tetapi menurut Ibnu Taymiyyah hadist dan sunnah tidak sama. Menurut Ibn Taymiyyah, al-hadis
merupakan ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi Mhammad sebatas beliau diangkat
menjadi Nabi/Rasul. Sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan ssudah
diangkat menjadi Nabi/Rasul.
Hadist
menurut istilah ialah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan, keizinan
nabi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka hadist itun terbagi menjadi tiga
bentuk
1.
Hadist perkataan, yang biasa disebut Hadist Qauli
(berupa perkataan)
2.
Hadist perbuatan, yang biasa disebut Hadist Fi’li
(berupa perbuatan)
3.
Hadist penetapan, yang biasa disebut Hadist Taqriri
(berupa penetapan)
Selain tiga jenis hadist tersebut,
juga ada hadist qudsi, yaitu firman allah
yang disampaikan kepada nabi, kemudian kalimatnya disusun oleh nabi
Muhammad saw sendiri; bukan kalimat-kalimat langsung dari Allah swt. Hadits
tersebut dinamakan qudsi, kaerna berasal dari Allah swt. Yang maha suci
(Al-Qudsi), sedangkan kalimat atau bahasanya disusun oleh Rasul, sehingga
disebut Hadist.
Al-Quran dan hadits, keduanya
merupakan sumber ajaran islam kepada umat islam. Dan untuk menjadi kemurnian
serta menghindari kemungkinan bercampur aduk antar keduanya, maka rasulullah
saw menggunakan cara dan jalan yang berbeda dalam menyampaikannya kepada para
sahabat. Terhadap Al-Quran, beliau secara resmi memerintahkan kepada para
sahabat untuk menulis serta menghafalkannya. Sedangkan terhadap hadits, beliau
hanya menyuruh menghafalkannya saja dan tidak menulisnya secara resmi.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang
menyebabkan rasulullah melarang penullisan dan pembukuan hadits adalah :
a. Khawatir terjadi
kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits rasul bagi orang-orang yang
baru masuk islam.
b. Takut
berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah.
c. Khawatir
oprang-orang awam berpedoman pada hadits saja. (Hasan Sulaiman abbas Alwi,
1995:6)
Rasulullah menyampaikan hadits dalam
berbagai kesempatan, antara lain;
Pertama, melalui jamaah dalam majlis ilmi.
Kedua, melalui sahabat-sahabat tertentu.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,
seperti saat haji wada dan futuh makkah (penaklukan kota mekkah)
Jadi,
penyebaran hadits pada masa rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut
(secara lisan). Hal ini bukan hanya dikaerenakan banyak sahabat yang tidak bisa
menulis hadits, tetapi juga karena nabi melarang untuk menulis hadits[6].
Hali ini dikarenakan munculnya kekhawatiran beliau seperti yang telah
disebutkan diatas.
Setelah
rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota diluar madinah.
Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin
mudah nya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi
otentisitas hadits tersebut. Maka khalifah abu bakar meneraokan aturan yang
membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan khalifah umar ibn al-khattab.[7]
Pada masa
khlifah ustman ibn affan, periwayatan hadits nabi tetap berlanjut meskipun
tidak setegas umar ibn al-khattab. ini disebabkan oleh karakteristik pribadi
usman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan umar, selain itu wilayah
kekuasaan islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol
pembatasan riwayat secara maksimal[8].
Sedangkan
pada masa pemerintahan khalifah ali ibn abi thalib, situasi pemerintahan islam
telah berbeda dengan masa sebelumnya. Masa itu merupakan krisis dan fitnah
dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan
politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal ini membawa
dampak negative dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong
pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh
periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya[9].
Pada masa
pembatasan periwayatan ini, para sahabat hanya meriwaytkan hadits jika ada
permasalahan hokum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat,
seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari
sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan
saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh
hanya untuk mencari kebenaran hadits yang diriwayatkannya.
Pengumpulan
dan penulisan hadits, atau yang lebih popular disebut dengan istilah
pentadwinan hadits pada masa khlifah umar bin abdul aziz merupakan usaha
pengumpulan dan penulisan hadits-hadits dari para ulama’ penghafalnya secara
resmi yang pertama kali dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal ini dikarenakan
kahalifah umar bin abdul aziz khawatir akan hilangnya hadits-hadits rasulullah,
karena banyak ulama yang meninggal dan juga akan tercampurnya hadits yang asli
dan hadits yang palsu.
Dengan
pertimabangan tersebut, khalifah umar bin abdul aziz menginstruksikan kepada
wali kota madinah, abu bakar ibn Muhammad ibn ‘amr bin hazm, untuk mengumpulkan
hadits yang ada. Hal serupa juga diperintahkan kepada tabi’in wanita, ‘Amrah
binti “abd al-rahman. Dengan instruksi
ini, ibn hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ad pada dirinya sendiri
maupun pada ‘amrah yang banyak meriwayatkan hadits dari Aisyah r.a[10].
Namun usaha
ini khusunya di madinah belum sempat dilakukan secara lengkap oleh abu bakar
ibn amr ibn hazm dan akhirnya di teruskan oleh imam Muhammad bin muslim bin
syihab az-zuhri[11].
Inilah sebanya sejarah dan ulama menganggap bahwasanya ibn shihab az-zuhri yang
pertama mengkodifikasikan hadits secara resmi atas perintah khalifah.
Setelah ibn
hazm dan ibn shihab, muncul kodifikasi hadits perioda kedua yang disponsori
oleh para khalifah bani abassiyah. Ulama periode ini antara lain ibn juraij (w.
150 H), abu ishaq (w. 151 H), imam malik (w. 179 H) dan lain-lain[12].
[1]
Kamus al-munawwir Arab-Indonesia, achmad Warson munawwir (Surabaya: Pustaka
Progessif, 1997) hlm.654 dan 656
[2]
Pengantar Studi Islam, Khoiruddin Nasution (Yogyakarta: ACAdeMIA tazaffa, 2010)
hlm.2.
[3]
Mahmud Syaltut, Al-islam: ‘Aqidatun wa
Syari’atun (Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruk, 1403/1983) hlm.7 .
[4]
Pengantar studi islam (Ngainun naim, teras,yogyakarta.2009)hal.3.
[5]
Abdul Wahab Khallaf; Ilmu Ushulfiqh, cet IX, (Jakarta:Al-Majlis Al-A’la
Indonesia lil Al-Da’wah Al-Islamiyah,1972)hal.23.
[6]
Pengantar studi al-quran dan al-Hadits (teras: nur kholis, Yogyakarta : 2008)hal.200.
[7] Ibid.
hal.202.
[8] Ibid
hal.204
[9] Ibid
[10]
Pengantar studi islam (Ngainun naim, teras,yogyakarta.2009)hal.68.
[11]
Op.cit hal.208.
[12]
Op. cit hal.69.