Minggu, 17 Maret 2013

makalah otentisitas ajaran islam


PENGERTIAN ISLAM
           
                        Islam menurut bahasa diambil dari bentuk masdar (infinitif) yaitu aslama, yuslimu, islaaman, yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah[1]. Pengunaan kata aslama menunjukan mutlaknya dilakukan proses untuk meraih keselamatan. Maksudnya, selamat yang diberikan kepada seseorang bukan dalam bentuk pemberian kata tanpa kerja, by giving, tetapi untuk mendapatkan keselamatan dibutuhkan proses dalam bentuk usaha dan kerja serius[2]. Disini dibutuhkan usaha yang kuat dan sabar untuk mendapatkan tempat yang dekat dengan Allah swt agar apa yang kita lakukan di dunia selalu atas karena Allah dan juga untuk mengharap ridho Allah swt.
                        Sedangkan islam menurut istilah ialah seperti apa yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut yang bias kita lihat dalam bukunya yang berjudul Al-Islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun. Beliau memberi definisi islam adalah agama Allah yang diwasiatkan untuk mempelajari pokok-pokok dan syari’atnya kepada nabi Muhammad saw dan wajib (harus) menyampaikan kepada selueuh manusia[3]
            Dalm pengertian diatas kita melihat ada kata lain yang mempunyai hubungan erat dengan islam, yaitu wahyu dan syariat. Wahyu adalah suatu yang diberikan Allah swt kepada nabinya yang berisi tentang syari’at atau tatacara dalam menjalankan agama dalam kehidupan kita didunia. Tiga hal ini, yaitu islam, wahyu dan syariat saling berkaitan erat dan saling melengkapi satu sama lainnya. Islam(agama) tanpa wahyu bagaikan jalan raya tanpa rambu-rambu, sehingga pengguna jalan itu akan leluasa dan berlaku se-enaknya saja. Begitupun islam dengan wahyu tapi tanpa syariat, sudah ada keyakinan, sudah ad rambu-rambu, tapi tidak ada isi atau substansinya. Sehingga nilai-nilai yang ada didalamnya akan terasa hampa, kosong dan tanpa makna.
Jadi bisa dirumuskan, Islam adalah pengakuan pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah rasul utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji.
Jika melihat pengertian diatas kita bisa melihat integritas islam, wahyu dan syariat yang amat kuat dan saling menguatkan. Disinilah pentingnya islam dengan wahyu dan syariat berjaln secara beriringan satu sama lain.
Pengertian islam secara terminologis sebagaimana yang dirumuskan para ahli dan ulama bersifat sangat beragam, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Jadi bisa kita simpulkan bahwa islam adalah wahu allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan sunah, berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup sebagai petunjuk bagi seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat[4].

OTENTISITAS AJARAN ISLAM

1.      AL-QURAN
            Secara etimologis, kata Al-quran berasal darikata qara’a yaqra’u qur’anan. Yaitu bacaan atau mashdar yang di artikan dengan kata maqru’, artinya; yang dibaca.
            Secara terminologis banyak definisi  Al-Qur’an yang dikemukakan oleh para ulama’. Akan tetapi dalam hal ini kita bisa melihat definisi yang dikemukakan oleh abdul Wahab Khalaf. Menurut khalaf al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, nabi Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasulullah, bahwa ia benar-benar menjadi Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, member petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatikhah dan di akhiri dengan surat An-nas, disampaikan secara mutawattir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian[5].
 Al-Quran adlah wahyu dari Allah untuk nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril . kemudian nabi menyampaikannya kapada para sahabat. Lalu para sashabat menghafal dan menuliskannya diberbagai media, seperti pelepah kurma, kertas maupun tulang hewan dan lain-lain. Hal itu dilakukan terus menerus sampai wahyu yang terakhir dan akhirnya nabi Muhammad wafat.
Setelah nabi Muhammad wafat, Abu bakar, sebagai khalifah yang menggantikan nabi Muhammad memulai usha untuk mengumpulkan teks-teks Al-quran yang masih berserakan dimana-mana. Hal itu didodrong oleh sahabat umar yang khawatir akan keutuhan Al-Quran karena banyak dari penghafal Al-Quran yang gugur dalm peperangan yamamah. Kemudian Abu Bakar menyetujuinya dan ditunjuklah sahabat Zaid bib Tsabit sebagai pelaksana penulis Mushaf Al-Quran yang pertama. Tidak sampai waktu setahun, mushaf Al-Quran yang pertama berhasil diselesaikan oleh Zaid bin Tsabit.
Pad zaman khlifah usman bin affan, seiring dengan perkembangan dan perluasn kekuasaan islam, muncul problem baru yaitu perbedaan dialek karena keberagaman Negara-negara islam yang dikhawatirkan akn meletuskansebuah pertentangan tentang Al-Quran. Lalu muncul upaya untuk menyalin mushaf abu Bakar yang kemudian akan disebara ke beberapa kota, yaitu: Kuffah, Bashrah, Mekkah, dan syuriah. Dalam upaya ini, zaid bin Tsabit dipercaya lagi menjadi orang yang melaksanakan tugas mulia ini. upaya ini berhasi dan menghasilkan beberapa mushaf hasil salinan dari mushaf Abu Bakar, yaitu yang biasa disebut mushaf usmany. Kemudian khalifah usman memerintahkan agar membakar semua catatan-catatan ayat Al-Qur’an selain Mushaf tadi. Dan membaca Al-Qur’an menurut bacaan atau qira’at yang terdapat dalam mushaf usmany.
Itulah cikal bakal mushaf al-Quran yang kemudian sampai ke tangan kita sekarang ini. Sebagaimana disebutkan oleh abdul wahab khllaf (ilmu ushul fiqh, 1990:24), bahwa  kehujahhan Al-Qur’an itu terlatak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikit pun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata dan Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara Qath’iy (pasti)
Allah sendiri-lah yang juga menjaga ke-otentitisitasnya dan merawatnya sehingga jauh dari rekayasa, perubahan berupa penambahan atau pengurangan Al-Qu’an.
2.      AL-HADIST
Hadist menirut bahasa yaitu kebalikannya qadim : dahulu, yaitu baru. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist menurut bahasa yaitu perkataan. Ini berdasarkan ayat al-quran surat An-nisa’ : 87. Hadist sering dikaitkan dengan sunnah. Menurut ulama’ jumhur hadist dan sunnah adalah sama. Tetapi menurut Ibnu Taymiyyah hadist dan sunnah  tidak sama. Menurut Ibn Taymiyyah, al-hadis merupakan ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi Mhammad sebatas beliau diangkat menjadi Nabi/Rasul. Sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan ssudah diangkat menjadi Nabi/Rasul.
            Hadist menurut istilah ialah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan, keizinan nabi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka hadist itun terbagi menjadi tiga bentuk
1.      Hadist perkataan, yang biasa disebut Hadist Qauli (berupa perkataan)
2.      Hadist perbuatan, yang biasa disebut Hadist Fi’li (berupa perbuatan)
3.      Hadist penetapan, yang biasa disebut Hadist Taqriri (berupa penetapan)

Selain tiga jenis hadist tersebut, juga ada hadist qudsi, yaitu firman allah  yang disampaikan kepada nabi, kemudian kalimatnya disusun oleh nabi Muhammad saw sendiri; bukan kalimat-kalimat langsung dari Allah swt. Hadits tersebut dinamakan qudsi, kaerna berasal dari Allah swt. Yang maha suci (Al-Qudsi), sedangkan kalimat atau bahasanya disusun oleh Rasul, sehingga disebut Hadist.
Al-Quran dan hadits, keduanya merupakan sumber ajaran islam kepada umat islam. Dan untuk menjadi kemurnian serta menghindari kemungkinan bercampur aduk antar keduanya, maka rasulullah saw menggunakan cara dan jalan yang berbeda dalam menyampaikannya kepada para sahabat. Terhadap Al-Quran, beliau secara resmi memerintahkan kepada para sahabat untuk menulis serta menghafalkannya. Sedangkan terhadap hadits, beliau hanya menyuruh menghafalkannya saja dan tidak menulisnya secara resmi.
Adapun  faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan rasulullah melarang penullisan dan pembukuan hadits adalah :
a.      Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits rasul bagi orang-orang yang baru masuk islam.
b.      Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah.
c.       Khawatir oprang-orang awam berpedoman pada hadits saja. (Hasan Sulaiman abbas Alwi, 1995:6)
Rasulullah menyampaikan hadits dalam berbagai kesempatan, antara lain;
Pertama, melalui jamaah dalam majlis ilmi.
Kedua, melalui sahabat-sahabat tertentu.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti saat haji wada dan futuh makkah (penaklukan kota mekkah)
            Jadi, penyebaran hadits pada masa rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikaerenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena nabi melarang untuk menulis hadits[6]. Hali ini dikarenakan munculnya kekhawatiran beliau seperti yang telah disebutkan diatas.
            Setelah rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota diluar madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudah nya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka khalifah abu bakar meneraokan aturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan khalifah umar ibn al-khattab.[7]
            Pada masa khlifah ustman ibn affan, periwayatan hadits nabi tetap berlanjut meskipun tidak setegas umar ibn al-khattab. ini disebabkan oleh karakteristik pribadi usman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan umar, selain itu wilayah kekuasaan islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal[8].
            Sedangkan pada masa pemerintahan khalifah ali ibn abi thalib, situasi pemerintahan islam telah berbeda dengan masa sebelumnya. Masa itu merupakan krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal ini membawa dampak negative dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya[9].
            Pada masa pembatasan periwayatan ini, para sahabat hanya meriwaytkan hadits jika ada permasalahan hokum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yang diriwayatkannya.
            Pengumpulan dan penulisan hadits, atau yang lebih popular disebut dengan istilah pentadwinan hadits pada masa khlifah umar bin abdul aziz merupakan usaha pengumpulan dan penulisan hadits-hadits dari para ulama’ penghafalnya secara resmi yang pertama kali dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal ini dikarenakan kahalifah umar bin abdul aziz khawatir akan hilangnya hadits-hadits rasulullah, karena banyak ulama yang meninggal dan juga akan tercampurnya hadits yang asli dan hadits yang palsu.
            Dengan pertimabangan tersebut, khalifah umar bin abdul aziz menginstruksikan kepada wali kota madinah, abu bakar ibn Muhammad ibn ‘amr bin hazm, untuk mengumpulkan hadits yang ada. Hal serupa juga diperintahkan kepada tabi’in wanita, ‘Amrah binti “abd al-rahman.  Dengan instruksi ini, ibn hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ad pada dirinya sendiri maupun pada ‘amrah yang banyak meriwayatkan hadits dari Aisyah r.a[10].
            Namun usaha ini khusunya di madinah belum sempat dilakukan secara lengkap oleh abu bakar ibn amr ibn hazm dan akhirnya di teruskan oleh imam Muhammad bin muslim bin syihab az-zuhri[11]. Inilah sebanya sejarah dan ulama menganggap bahwasanya ibn shihab az-zuhri yang pertama mengkodifikasikan hadits secara resmi atas perintah khalifah.
            Setelah ibn hazm dan ibn shihab, muncul kodifikasi hadits perioda kedua yang disponsori oleh para khalifah bani abassiyah. Ulama periode ini antara lain ibn juraij (w. 150 H), abu ishaq (w. 151 H), imam malik (w. 179 H) dan lain-lain[12].

           


[1] Kamus al-munawwir Arab-Indonesia, achmad Warson munawwir (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997) hlm.654 dan 656
[2] Pengantar Studi Islam, Khoiruddin Nasution (Yogyakarta: ACAdeMIA tazaffa, 2010) hlm.2.
[3] Mahmud Syaltut, Al-islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun (Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruk, 1403/1983) hlm.7 .
[4] Pengantar studi islam (Ngainun naim, teras,yogyakarta.2009)hal.3.
[5] Abdul Wahab Khallaf; Ilmu Ushulfiqh, cet IX, (Jakarta:Al-Majlis Al-A’la Indonesia lil Al-Da’wah Al-Islamiyah,1972)hal.23.
[6] Pengantar studi al-quran dan al-Hadits (teras: nur kholis, Yogyakarta : 2008)hal.200.
[7] Ibid. hal.202.
[8] Ibid hal.204
[9] Ibid
[10] Pengantar studi islam (Ngainun naim, teras,yogyakarta.2009)hal.68.
[11] Op.cit hal.208.
[12] Op. cit hal.69.

resensi buku islam liberal dan fundamental


ISLAM LIBERALIS DAN FUNDAMENTALIS

Sebuah buku yang menurut saya bagai medan perang yang saking bingungnya kita tak tahu akan berlindung ke arah mana. Diangkat dengan tema yang sangat hangat pada saatnya dan sampai sekarang pun masih menjadi pembicaraan menarik dalm diskusi-diskusi maupun forum tak resmi, semisal obrolan di warung. Tak akan ada habisnya jika kita terus menyoal tentang tema ini karena memang baik yang pro maupun yang kontra sama-sama menunjukkan kekuatan argumentasi masing-masing dengan cara tersendiri.
Gagasan Ulil Abshar Abdalla (selanjutnya ditulis Ulil) yang kemudian dimuat dalam harian Kompas tanggal 18/11/2002 yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam banyak menuai pro dan kontra.  banyak orang mengatakan bahwa ulil telah menghina Allah, Rasul dan agama Islam dan masih banyak pula kata-kata yang lebih keras yang ditujukan kepadanya. Tetapi sebagian yang lain tetap mendukungnya dengan berbagai ungkapan kata dan spirit moral agar tetap melanjutkan langkahnya tersebut.
Ulil adalah seorang intelektual muda NU yang pada saat itu secara getol melontarkan pemikiran islam liberalnya bersama-sama kawan-kawannya yang lain. Menurut Abdurrahman Wahid, pemikiran ulil tersebut terlalu meloncat kedepan dari masanya sehingga orang pada umumnya belum siap menerima gagasan seperti itu sehingga dia harus menanggung cemoohan, hinaan, makian sampai pengkafiran.
Buku ini adalah kumpulan artikel-artikel dari pihak yang pro terhadap gagasan ulil maupun yang kontra terhadap ulil yang sebelumnya dirangsang oleh artikel ulil yang kontroversial itu sebagai wacana pembuka. Terdapat juga bagian wawancara dan dialog dengan Ulil Abshar Abdalla.
Di dalam buku ini anda akan di suguhi argumen-argumen yang tak kalah dengan artikel ulil sendiri. Anda akan terhenyak dan tertegun dan mungkin sedikit sulit untuk mencerna. Karena memang artikel yang dimuat di buku ini adalah tulisan dari orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya. Dan anda harus berpintar-pintar membacanya dengan jeli dan teliti agar apa yang anda baca bisa masuk dan tak salah persepsi.
Dalam artikelnya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, seperti yang dikatakan mertuanya, Mustofa Bisri. Ulil menulis dengan nada provokatif dan geram segeramnya sehingga tak heran jika kemudian banyak yang menentangnya dengan keras.
Ada beberapa pemikiran ulil yang sulit diterima oleh umat muslim yang apabila salah mencerna akan menimbulkan suatu kebingungan. Pertama, tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanyalah nilai-nilai universal yang terkandung didalamnya. Kedua, Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya. Ketiga, seperti yang pernah diungkapkan Cak Nur, bahwa Islam adalah nilai generis yang bisa ada di agama Kristen, Budha, Konghucu, Yahudi, Taoisme dan Kepercayaan lokal lain. Bahkan bisa jadi ada pada filsafat Marxisme. Keempat, mengajukan Syari’at Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah. Dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran aneh dan nyleneh dari Ulil yang bisa kita temukan.
Pernyataan-pernyataan Ulil yang provokatif itu segera menimbulkan respon-respon yang pro maupun kontra. Respon yang kontra selalu mendominasi sebuah headline berita pada saat itu. Sehingga berkesan bahwa Ulil adalah pihak yang bersalah dan wajib bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut. Tetapi tak sedikit pula yang membenarkan dan mendukungnya. Terus menyemangati ulil dan kawan-kawan agar terus melanjutkan gagasannya secara intensif ke seluruh penjuru Nusantara.
Tak hanya dari kaum muslim yang bersuara, bahkan para pemuka agama dari lain islam dan budayawan pun ikut berkomentar tentang gagasan-gagasan ulil dan cara penyampaiannya tersebut. Masalah ini cukup menggelitik kuping mereka sehingga mereka seperti mempunyai kewajiban untuk ikut memberikan komentarnya.
Dalam buku ini semua artikel yang pro maupun yang kontra mempunyai posisi yang Proporsional, Berimbang, Tidak memberatkan satu pihak dan sama-sama berbobot. Tidak ada unsur memihak dari penerbit untuk memenangkan salah satu yang pro ataupun yang kontra.
Dalam tanggapan kontra ada yang membaca dengan cara apriori-apologetik terhadap gagasan yang diusung Ulil, ada yang mencoba mementahkan tawaran tersebut, ada juga yang lebih serius dengan mengemukakan argumen dan tantangan metodologis.
KH Ali Athian adalah salah satu yang menentang ulil dengan keras. Ulama dari Bandung ini bersama ulama jawa barat, jawa tengah dan jawa timur yang kemudian mengatas-namakan diri sebagai Forum Umat dan Ulama Indonesia (FUUI) dalam sebuah pertemuan di bandung mengeluarkan fatwa bahwa pemikiran Ulil sesat dan menyesatkan, menghina Allah, Rasul dan agama Islam. Ulil telah dianggap kafir dan halal darahnya. Tidak hanya itu, FUUI juga melaporkan Ulil ke polisi.
Kemudian masih banyak lagi pihak-pihak yang belum bisa menerima gagasan-gagasan Ulil dan kawan-kawannya. Entah itu menolak dengan cara halus maupun dengan cara ekstrim sekalipun. Namun sebenarnya Ulil sudah tahu dan sudah siap menghadapi penolakan tersebut. Karena ia tahu bahwa sulitnya merubah suatu sitem yang telah mapan. Tetapi ia tak mundur sejangkal pun dan terus melangkah ke depan menyuarakan gagasannya.
Tak sedikit pula yang menaruh simpatik kepada Ulil dan terus mendukung Ulil agar terus melangkah ke depan. Pada bagian artikel pro Ulil, gagasan dan model pembaca pun cukup variatif. Ada yang membacanya dari aspek-aspek lain yang tak terikat dari teks, ada yang membacanya dengan sekedar afirmasi, dan ada pula yang memiliki harapan besar bagi perkembangan dan bersemayamnya islam yang liberal dan membebaskan.
Kita benar-benar dapat menyimak klarifikasi Ulil dalam bagian wawancara dialog. Pada bagian ini semua adalah klarifikasi ulil mengenai artikel fenomenalnya, gagasan-gagasannya, maksud dan tujuan tulisan provokatifnya dan tentu masih banyak lagi klarifikasi-klarifikasi Ulil dibalik artikelnya itu.
Bagian ini diambil dari beberapa hasil wawancara koran harian dan sebuah dialog super seru dan super panjang via email antara Ulil Abshar Abdalla dengan H.M Nur Abdurrahman, Wakil Ketua Majelis Syura Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan .
Lewat dialog inilah kita bisa melihat bagaimana seorang cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdalla berargumentasi mempertahankan pendiriannya dengan HM Nur Abdurrahman yang telah berusia 71 tahun. Kedua orang yang beda jauh usia ini tetap bisa saling menaggapi argumen satu dengan yang lain dengan masing-masing pendiriannya sehingga menjadikan dialog ini terus memunyai jalan untuk berlanjut tanpa ada kebuntuan.
Dan pada bagian terakhir sebuah epilog dari KH Abdurrahman Wahid (gusdur) melengkapi buku ini sehingga menambah warna-warni keindahan dalam buku ini. Dengan cara pandangnya sendiri, Gus Dur menilai bahwa apa yang dilakukan Ulil adalah sebuah aktifitas untuk melepaskan diri dari keterkungkungan berpikir. Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil berpikir dalam media khalayak, kata dia, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara larangan terbatas untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisme.
Ulil sesungguhnya anak ideologi dari Gus Dur yang menggotong demokrasi, pluralisme, toleransi, HAM, dan lain sebagainya. Teme-tema besar tersebut sudah banyak dibicarakan oleh pemikir Islam sebelumnya dan sama sekali bukan hal yang baru. Gagasan-gasan tersebut sebelumnya telah pernah disampaikan oleh para pendahulu Ulil seperti Gus Dur, Cak Nur, dan juga beberapa dari luar indonesia seperti Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman hingga Arkhoun.
Bedanya islam liberal yang di usung Ulil ini lebih terorganisir dengan rapi dan penyampainnya yang lebih intens kepada masyarakat. Islam liberal Ulil terus menyosialisasikan gagasannya lewat berbagai media sehingga tak hanya orang atas saja yang mengetahui tetapi juga dari kalangan bawah. Muslim maupun non muslim pun ikut serta menyorot dan mengikuti perkembangan peristiwa ini.
Ulil sebenaranya ingin menyampaikan beberapa hal dalam peristiwa ini yang bisa kita temukan dalam buku ini. Semua hal dalam buku ini adalah nyata dan realita, tak ada rekayasa fakta maupun pemalsuan data. Tidak ada keberpihakan terhadap salah satu kubu yang pro maupun yang kontra. Semua pembaca disuguhi perang wacana yang indah dalam suatu bingkai perbedaan.
Pembaca diberi kebebasan penuh untuk mengartikan setiap kata demi kata yang ada dalam buku ini. Tidak ada sebuah intervensi terhadap pembaca agar masuk ke dalam posisi yang mana. Seperti dalam pemikiran liberal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk berpikir kemudian memberikan suatu penafsiran terhadap masalah tertentu.
Setelah membaca buku ini, diharapakan pembaca tidak hanya ikut-ikutan dalam berkomentar, tetapi juga mengetahui seluk beluk dan akar masalah secara menyeluruh dan mendalam. Para pembaca juga diajak untuk berpikir kreatif konstruktif mengenai masalah-masalah dalam buku ini.
Menurut saya, kekurangan buku ini adalah kurang adanya suatu pengenalan terhadap masalah yang sama tetapi dalam waktu dan tempat yeng berbeda. Dibutuhkan suatu pengenalan masalah yang pernah terjadi kepada Gus Dur maupun Cak Nur dalam eranya masing-masing. Sehingga pembaca menjadi tahu dan mengerti bukan dalam satu medan saja tetapi juga dalam medan yang lainnya.
Kelebihan buku ini adalah menghadirkan artikel-artikel dari penulis ternama di Indonesia yang mempunyai kompetensi dan kredibelitas dalam bidangnya masing-masing sehingga menghasilkan pembacaan masalah  dari berbagai sudut pandang yang kemudian memperkaya kajian-kajian dan memperluas tema tetapi tidak keluar dari koridor pembahasan utama.



Identitas buku :
Judul buku :
ISLAM LIBERAL DAN FUNDAMENTAL
Sebuah Pertarungan Wacana
Penulis : Ulil Abshar Abdalla, dkk
Editor : Dzulmanni
Penerbit : elSAQ Press
Terbit : Cetakan IV, Juni 2007
Halaman : 315

Senin, 11 Maret 2013

diskusi

     diskusi sejatinya adalah wahana untuk saling mengungkapkan gagasan dan saling tukar pikiran. menjadi hal wajib dalam diskusi untuk saling ber-feeed back satu sama lain agar terjadinya suatu komunikasi yang laik. adu wacana, gagasan, dan argumen menjadi alat yang wajib maujud untuk menghasilkan suatu konsep yang baru berdasarkan kesepakatan dalam forum.
     perbedaan adalah rahmat. begitupun dalam diskusi. semakin banyak perbedaan gagasan, semakin banyak khazanah keilmuan yang dapat memperkaya pengetahuan kita. sebenarnya perbaedaan tersebut harus disikapi dengan arif. ini adalah suatu proses agar dapat saling menghargai penadapat sehingga kita tak menjadi makhluk yang berkadar ego tinggi.
     islam pun mengajarkan kita untuk selalu berdiskusi (baca; musyawarah) dalam setiap hal agar jalan yang dtuju memang benar-benar kesepakatan bersama tanpa suatu paksaan apapun. diskusi dapat mengolah intelektual kita dalam pengetahuan.

Kamis, 07 Maret 2013

perpustakan nihil pustaka

           setiap saya masuk kedalam perpustakaan kampus, hampir dipastikan komputer yang disediakan hanya dimanfaatkan untuk sekedar eksisi di jejaring sosial saja. padahal fungsi komputer yang disediakan itu untuk menunjang mahasiswa dalam memperkaya intelektual mahasiswa dan mencipta karya-karya ilmiah. begitupun ketika kita masuk dalam ruang tandon. banyak dari kita yang masuk kedalam perpustakaan hanya untuk memenuhi tugas dari dosen yang harus dipenuhi dalam sistem pembelajaran. tidak ada yang mempunyai rasa tulus dari hati untuk membaca yang menjadi kebutuhannya. inilah sebuah ironi dalam dunia pendidikan kita dan inilah yang sebenarnya terjadi.